Masa kecil selalu dipenuhi dengan kebiasaan yang terasa begitu biasa, tapi ternyata menyimpan makna yang mendalam ketika dikenang kembali. Salah satu rutinitas yang masih jelas dalam ingatanku adalah bagaimana Ibu selalu menyiapkan sop sebagai bagian utama dari setiap santapan. Namun, bukan seperti yang sering kulihat di restoran atau rumah makan. Di rumah, setiap ibu masak sop selalu bilang "Ayo tuang sopnya langsung ke nasi ya! biar seger..."
Bagi Ibu, tujuan dari mencampur sop dengan nasi bukan sekadar kebiasaan turun-temurun, tetapi juga strategi agar aku makan lebih lahap. Dengan kuah yang meresap ke nasi dan rasa gurih dari lauk yang berpadu sempurna, tidak ada alasan untuk menolak suapan demi suapan. “Biar cepat gemuk,” kata Ibu dengan senyum khasnya setiap kali melihatku menikmati makanan dengan lahap.
Saat itu, tidak ada pilihan lain. Aku terbiasa dengan konsep bahwa sop adalah bagian dari makanan utama, bukan sajian yang dinikmati terpisah. Rasa ayam yang bercampur dengan sayuran, gurihnya kuah yang mengalir memenuhi nasi, dan bahkan potongan kentang yang terasa lebih lembut ketika melebur dengan semua unsur lainnya—semuanya menjadi satu dalam harmoni piring makan masa kecilku.
Namun, seiring berjalannya waktu, kebiasaan ini berubah perlahan tanpa disadari. Kini, ketika menyantap sop, aku lebih memilih untuk menuangkannya dalam mangkuk terpisah. Alasannya sederhana: ingin lebih menikmati keotentikan rasa dari setiap bahan yang ada di dalamnya.
Ada kepuasan tersendiri dalam menyendok kuah panas yang murni tanpa bercampur dengan nasi. Setiap potongan daging, sayur, dan kentang memiliki rasa dan tekstur yang lebih jelas. Bahkan, aku mulai menyadari bahwa setiap jenis sop memiliki karakteristik tersendiri, ada yang lebih ringan dan segar, ada yang lebih pekat dan kaya rempah.
Selain itu, di usia 50 tahun, pola makan menjadi bagian yang lebih diperhatikan. Dulu, ketika masih kecil, tujuan makan adalah untuk tumbuh sehat dan berenergi. Tapi kini, keseimbangan asupan makanan menjadi pertimbangan utama. Mengurangi konsumsi nasi atau karbohidrat berlebih menjadi salah satu cara untuk menjaga berat badan agar tidak mudah naik. Dengan memisahkan sop dari nasi, aku bisa lebih mengontrol jumlah karbohidrat yang dikonsumsi tanpa kehilangan kenikmatan dari setiap sendokan kuah yang kaya rasa.
Membiasakan diri makan dengan pola yang lebih seimbang juga membuatku lebih sadar akan rasa dan tekstur makanan. Sop yang dulu hanya dianggap sebagai pelengkap nasi kini punya tempat tersendiri dalam sajian, memberikan kesempatan bagi lidah untuk benar-benar merasakan tiap bahan yang dimasak dengan penuh perhatian.
Meski begitu, kenangan tentang Ibu dan piring sop yang penuh masih tetap tersimpan hangat. Kadang, ketika kembali ke rumah, aku menemukan diriku kembali ke kebiasaan lama—mencampur sop dengan nasi seperti dulu. Bukan karena ingin kembali ke masa kecil, tetapi karena ingin menghidupkan kembali kehangatan dari setiap suapan yang pernah menjadi bagian dari cinta seorang Ibu.
Dan mungkin, dalam setiap perubahan cara makan, ada cerita dan makna yang lebih dalam dari sekadar piring dan mangkuk.
Bagaimana kebiasaan makan sopmu? Apakah kamu masih mencampurnya dengan nasi, atau sudah beralih menikmati kuahnya secara terpisah? 😉
No comments:
Write komentar