
Merangkai Langkah, Menenun Makna: Catatan Awal dari Ruang Kerja Kepala Sekolah
Satu bulan terakhir ini, saya belajar kembali bahwa mutu bukan sekadar angka di rapor atau pencapaian indikator. Mutu adalah napas kolektif—usaha bersama antara guru yang tekun menyusun modul ajar, tenaga kependidikan yang setia menjaga ritme harian sekolah, hingga siswa yang terus bertumbuh dalam semesta belajarnya.
Dari menyusun RKS yang lebih partisipatif hingga mendampingi guru melalui supervisi yang lebih humanis dan membimbing—semuanya adalah bagian dari proses yang tidak instan, tapi bermakna. Di setiap kunjungan kelas, saya melihat bukan hanya kurikulum berjalan, tapi juga relasi yang tumbuh: antara guru dan murid, antara nilai dan praktik.
Saya percaya bahwa tugas kepala sekolah hari ini bukan hanya mengelola, tapi juga menghidupkan kembali rasa percaya bahwa setiap aktor di sekolah punya potensi untuk bertumbuh—dan bahwa pendidikan yang bermutu hanya akan tercapai jika kita belajar untuk tumbuh bersama.
Ini baru awal. Tapi saya bersyukur karena langkah kecil ini terasa hangat. Dan semoga dari sini, kita bisa terus merajut ekosistem sekolah yang tidak hanya cerdas, tapi juga peduli, inklusif, dan penuh makna.
📖 Mendampingi, Bukan Mengawasi: Supervisi yang Menumbuhkan
Ada satu hal yang saya pelajari dari bangku panjang di ruang guru: percakapan yang tulus lebih punya daya ubah dibanding seribu lembar instrumen supervisi.
Beberapa waktu lalu, saya duduk berdua dengan seorang guru muda setelah observasi kelas. Bukan untuk menilai, tapi untuk bertanya, “Bagaimana perasaanmu mengajar tadi?” Dari pertanyaan sederhana itu, mengalir cerita: tentang siswa yang sulit fokus, tentang strategi bertanya yang masih perlu dicoba, dan tentang harapan yang belum padam.
Supervisi bukan lagi soal menilai, tapi membimbing. Memberi ruang bagi guru untuk merasa dilihat, didengar, dan dihargai. Saya belajar menggunakan pendekatan coaching kecil-kecilan: bukan menggurui, tapi bertumbuh bersama. Terkadang, satu sesi obrolan ringan sambil menyeruput kopi di sudut ruang TU bisa jauh lebih bermakna ketimbang rapat formal tiga jam.
Dan ketika saya mulai menyusun penugasan tambahan bagi guru dan tendik, saya memilih untuk memulainya dari satu hal: mendengar. Saya undang mereka duduk bersama, lalu bertanya, “Apa yang membuatmu merasa berdaya?” Ternyata ketika seseorang merasa perannya bermakna, maka pekerjaan pun menjadi bagian dari misi, bukan sekadar rutinitas.
👣 Coaching di Tengah Deru Jam Pelajaran
Suatu hari, saya berdiri di depan kelas, bukan untuk mengajar, tapi untuk menyimak. Seorang guru senior sedang membimbing diskusi kelompok tentang nilai-nilai dalam Pancasila. Saya duduk di bangku paling belakang, mencatat, bukan untuk menilai, tapi untuk belajar.
Setelah bel berbunyi, saya menghampirinya dan berkata, “Keren sekali tadi cara Ibu membuka diskusi… tapi saya penasaran, kalau siswa yang pendiam itu dilibatkan juga, apa yang mungkin terjadi?” Pertanyaan itu memicu percakapan 15 menit yang lebih berharga dari rapor mana pun.
Praktik coaching di kelas bukan soal tahu lebih banyak—tapi soal memantik refleksi. Saya memilih pendekatan dialog: bertanya, mendengar, lalu merancang langkah-langkah kecil bersama. Kadang hanya berupa tantangan ringan, seperti, “Minggu depan, mau coba ubah posisi tempat duduk agar siswa lebih aktif?” Dan minggu depannya, saya datang lagi, menyimak lagi.
Menjadi kepala sekolah berarti punya privilege melihat tumbuhnya perubahan kecil: strategi bertanya yang lebih terbuka, catatan harian guru yang lebih reflektif, hingga kelas-kelas yang mulai menyesuaikan dengan kebutuhan belajar murid, bukan sekadar target kurikulum.
Dan setiap perubahan itu, sekecil apa pun, selalu saya dokumentasikan. Bukan untuk laporan formal semata, tapi sebagai pengingat bahwa perubahan sejati lahir dari relasi. Dari obrolan-obrolan santai di ruang kelas, dari tawa ringan selepas coaching, dari rasa saling percaya bahwa kita semua, guru dan kepala sekolah, sedang sama-sama belajar.
🌿 Belajar Kembali Menjadi Pembelajar: Refleksi Kepemimpinan
Saya menyadari satu hal belakangan ini—bahwa di balik semua lembar RKS, SK, dan laporan supervisi, saya adalah seorang murid juga. Murid dari situasi. Murid dari suara guru yang berbisik pelan, “Saya butuh waktu untuk belajar ini.” Murid dari anak-anak yang tatapannya menunggu ruang kelas yang lebih ramah.
Saat menyusun learning plan pribadi, saya mencoba jujur dengan diri sendiri: bagian mana dari kepemimpinan saya yang masih kaku? Di mana saya terlalu administratif? Kapan saya lupa bahwa pemimpin belajar harus mau dibimbing, sebelum membimbing?
Mengikuti pelatihan, membaca refleksi kepala sekolah lain, dan berdiskusi di Komunitas Guru Belajar membuka mata saya: menjadi pemimpin pembelajaran berarti hadir—secara utuh. Bukan hanya saat rapat penting, tetapi juga saat guru sedang frustrasi memilih strategi diferensiasi. Hadir secara utuh berarti tidak takut berkata, “Saya belum tahu, mari kita cari tahu bersama.”
Dan dari situ saya mulai menulis ulang makna keberhasilan. Dulu keberhasilan berarti angka meningkat. Kini keberhasilan berarti: ada guru yang tersenyum karena merasa didampingi, ada siswa yang pulang dengan cerita bahwa gurunya mendengarkan dia hari ini, atau ada tendik yang merasa pekerjaannya dihargai bukan hanya sebagai pelengkap.
Saya kira, menjadi kepala sekolah yang berdampak bukan tentang “menyelesaikan tugas.” Tapi tentang menciptakan ruang. Ruang untuk bertumbuh. Ruang untuk saling percaya. Ruang untuk belajar seumur hidup.
📌 Penutup: Kita Semua Sedang Belajar
Saya tidak tahu apakah saya sudah menjadi kepala sekolah yang “sempurna”—tapi saya tahu, setiap hari saya berusaha menjadi lebih hadir.
Hadir untuk guru yang ingin didengar. Untuk murid yang ingin dimengerti. Untuk setiap lembar perencanaan yang sejatinya bukan hanya soal angka, tapi tentang harapan.
Menjadi pemimpin pembelajaran bukan tentang menjadi yang paling tahu. Tapi tentang menjadi yang paling mau: mau mendengar, mau berubah, mau tumbuh, dan mau berjalan bersama.
Dan saya percaya—dari ruang kelas kecil di desa sampai lorong-lorong sekolah di kota, kita semua sedang belajar: saling menemani, saling mengingatkan, dan saling mempercayai bahwa sekolah bukanlah tempat untuk sempurna, melainkan ruang untuk menjadi manusia yang terus bertumbuh.
Semoga catatan kecil ini bisa jadi pengingat, bahwa kita tidak sendiri. Bahwa langkah-langkah kecil yang kita pilih hari ini, bisa jadi cahaya bagi banyak masa depan yang kini tengah duduk di bangku kelas, menggenggam mimpi-mimpinya.